Rabu, 14 April 2010

Mempertemukan konsep Hisab dan Rukyat

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, di Indonesia sering kali terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan atau awal Syawal (Idul Fitri). Perbedaan itu acap kali menimbulkan kesan negatif di antara umat karena pemerintah ‘dianggap’ tidak konsisten dalam mengambil keputusan.

Bahkan, di tengah masyarakat, muncul istilah bahwa Lebaran akan ditentukan di mana menteri agama (menag)nya berasal. Bila dari menterinya dari NU, maka Lebarannya akan condong ke NU. Dan bila menterinya dari Muhammadiyah, maka Lebarannya akan condong ke Muhammadiyah.

Perbedaan penentuan penetapan awal Ramadhan atau awal Syawal (Idul Fitri) ini sering terjadi karena adanya perbedaan dalam menentukan cara pandang menerjemahkan makna Wujudul Hilal (melihat bulan). Jadi munculnya perbedaan itu bukan karena organisasinya akan tetapi sebetulnya pada cara memaknai hadits yang berbunyi, “Shumu liru’yatihi, wa afthiru li ru’yatihi. fain ghubiya ‘alaikum fakmilu ‘iddata sya’bana tsalatsina”. Artinya, “”Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal bila tertutup awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” (Lih HR Bukhari dalam kitab sahihnya, hadits no. 1776, juz 6, hal 481 ). Atau hadits yang sejenis dengannya.

Dari dasar itu, muncul dua pemahaman dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal. Pertama, rukyat. Yaitu melihat hilal pada akhir Sya’ban atau Ramadhan pada saat maghrib atau istikmal (menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari ketika rukyat terhalang oleh awan). Kedua, hisab. Yaitu dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan, bumi dan matahari menurut ahli hisab.

Kalau dicermati secara saksama, perbedaan itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perbedaan sistem hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, hasilnya-pun menimbulkan perbedaan penggarapan, sebagaimana adanya klasifikasi sistem hisab (hisab haqiqy taqribu, hisab haqiqy tahqiqy, hisab haqiqykontemporer). Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqih dalam masalah penetapan awal dan akhir Ramadhan.

Ada aliran rukyat, seperti Imam Ramli dan Al-Khatib Asy-Syaibani, yang menyatakan, jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, maka yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat (Nihayah al-Muhtaj III: 351). Ada juga aliran hisab murni, seperti Imam As-Subkhiy, Imam Ibbadiy dan Imam Qalyubiy. Menurut mereka, jika ada orang menyaksikan hilal, sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, maka kesaksian tersebut harus ditolak (I’anatut Tholibin II: 261).

Lalu ada lagi aliran moderat, seperti Imam Ibnu Hajar, yang menyatakan bahwa syahadat (penyaksian) atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq). Namun, jika tidak terjadi ittifaq (kesepakatan), maka rukyat tidak dapat ditolak (Tuhfah al-Mulhaj II: 382).

Oleh karenanya agar tidak terjadi lagi perbedaan penetapan awal Ramadhan atau akhir Ramadhan, maka upaya yang perlu dilakukan adalah mempertemukan kedua metode yang dipakai oleh kedua ormas islam terbesar itu. Yaitu memadukan antara hisab dan rukyat.

Kebenaran hisab bukanlah kebenaran absolut. Ia harus dihipotesis dengan observasi lapangan agar mendapatkan data lebih akurat. Sebaliknya, observasi lapangan yang biasa dilakukan oleh para praktisi dan peneliti rukyat untuk melihat hilal juga bukan kebenaran absolut. Kebenaran rukyat harus diuji dan dihipotesis juga dengan cara penghitungan. Karena itu, bila semuanya bisa melepaskan ego masing-masing, niscaya ke depan tidak akan ada perbedaan lagi.

Untuk dapat mencapai idealisme tersebut maka antara mereka yang mengandalkan hisab dan tetap berpedoman pada rukyat harus mau secara bersama-sama menjalankan dan melakukan uji coba bersama, niscaya perbedaan itu bisa diselesaikan. Namun, jika egonya masih tinggi, maka perbedaan itu akan senantiasa ada. Konon pada tanggal 3 Agustus 2009, menteri agama telah mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan Badan Hisab – Rukyat Nasional. Mudah – mudahan saja organisasi ini dapat menjadi jembatan kedua “fraksi hari raya” tersebut.

Bagi yang mereka yang masih awam, secara ringkas prinsip penentuan awal bulan qomariyah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama menentukan waktu ijima’ (conjunction) pada hari ke 29. Ijtima’ adalah keadaan ketika posisi Bumi, Bulan dan Matahari berada pada satu garis bujur astronomis. Pada posisi ini bagian Bulan yang terkena sinar matahari sepenuhnya membelakangi bumi.

Bila ijtima’ terjadi setelah maghrib (merupakan saat pergantian tanggal dalam Islam) maka usia bulan qomariyah adalah 30 hari, awal bulan masih lusa hari. Bila keadaan ini yang terjadi, sebut sebagai keadaan 1, maka tidak akan terjadi perbedaan awal bulan. Bila ijtima’ terjadi sebelum maghrib maka langkah kedua dilakukan yakni menentukan posisi relatif antara Bumi, Bulan dan Matahari pada saat maghrib. Bila hilal negatif (keadaan 2) maka tanggal dan bulan baru juga lusa harinya. Tetapi bila hilal positif maka akan timbul dua kemungkinan. Pertama, tinggi hilal lebih besar dari 2 derajat (keadaan 3) maka keesokan hari adalah tanggal satu bulan baru. Keadaan ini juga tidak menimbulkan perbedaan. Bila kurang dari dua derajat (keadaan 4) akan terjadi perbedaan. Penganut kriteria wujudul hilal menyatakan keesokan hari adalah bulan baru, tetapi penganut imkanu rukyat menyatakan bulan baru adalah lusanya. Jadi perbedaan hanya terjadi pada keadaan 4.

Sebagai contoh, pada 20 Agustus 2009 terjadi keadaan 2 maka puasa awal Ramadhan adalah 22 Agustus. Pada 19 September terjadi keadaan 3, hilal sekitar 6 derajat, maka 1 Syawwal jatuh pada 20 September. Terakhir, 16 Nopember terjadi keadaan 1 maka awal Dzulhijjah jatuh pada 18 Nopember. Tahun depan, 2010, akan terjadi perbedaan pada dari raya ‘idul kurban, sedangkan awal Ramadhan dan Syawwal sama. Pada 29 Dzulqo’dah yakni 6 Nopember terjadi keadaan 4, tinggi hilal satu derajat sekian menit. Pengguna wujudul hilal akan berhari raya idul adha 16 Nopember, sedangkan pengguna imkanu rukyat 17 Nopember.

Selain dari konsep diatas konsep Imaknurrukyah atau visibilitas pengamatan (batas bawah kemungkinan hilal dapat dilihat) juga dapat diharapkan bisa menjadi jembatan dalam mengatasi perbedaan yang sering terjadi. Tentu saja dengan harus terjadi kesepakatan diangka berapa derajat wujudul hilal dapat dilihat. Dan untuk memadukan ini secara ilmiah membutuhkan waktu yang tidak pendek. Karena konsep imkanur rukyat di setiap negara dapat berbeda – beda. Indonesia menetapkan 2 derajat sedangkan Mesir 4, Jordania 6, Turki 7 dan komunitas muslim Amerika utara 15. Al-Qur’an hanya menyebut dua fase Bulan, sabit (crescent) dan purnama (fullmoon). Fase sabit dimunculkan dalam dua istilah, ahillah (hilal; QS 2:189) dan urjunil qadim (tandan tua; QS 36:39). Meski keduanya memberi penampakan Bulan yang sama tetapi berbeda posisi dan waktu. Ahillah adalah awal waktu tepatnya awal bulan sedangkan urjun itu akhir bulan.

Dua fase sabit tersebut mempunyai titik temu yang menandai akhir dari urjun yang sekaligus awal dari ahillah. Titik temu tersebut adalah konjungsi atau ijtima‘.

Secara teoritis, sesaat setelah konjungsi Bulan memasuki fasa baru (new moon) yaitu Bulan sabit. Dari perspektif ini, new moon identik dengan new month. Ada sebagian umat Islam yang menetapkan keesokan harinya sebagai bulan baru bila konjungsi terjadi sebelum maghrib. Kriteria awal bulan ini dikenal sebagai ijtima’ qablal ghurub (konjungsi sebelum maghrib).

Metode hisab sebagai prediksi dan perhitungan, walaupun sebelum ini statusnya adalah sebatas hipotesis verifikatif, tetap masih perlu menggunakan pembuktian observasi (rukyat) di lapangan. Demikian pula sebaliknya. Kontinuitas rukyat yang dibuktikan dengan hasil hisab harus selalu dilakukan setiap awal dan akhir bulan Qomariyah sehingga tidak terbatas pada akhir bulan Sya’ban, akhir Ramadhan, dan akhir Dzulqa’dah saja. Dengan cara ini, hasil akhir standardisasi ketinggian hilal dapat dihasilkan sebagai hasil kompromi metode hisab dan rukyah secara empiris ilmiah. Oleh karena itu, perbedaan itu akan tetap dapat diselesaikan dengan baik asal semua pihak bersikap legowo.

Penetapkan mathla’ (tempat menyaksikan terbitnya bulan) yang sama di satu tempat juga sebaiknya harus disepakati. Jadikan tempat itu sebagai lokasi yang paling kuat dan mendekati kebenaran sesungguhnya. Bila hal itu semua telah disepakati, maka niscaya perbedaan itu tidak akan ada lagi.

0 komentar: