Selasa, 21 Desember 2010

iddah wanita

BABI
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah dasar asasi dalam pembinaan masyarakat Islam, sedang talak adalah jalan untuk memutuskan hubungan suami-isteri. Tetapi perceraian, kadang-kadang mempunyai dampak yang tidak segera dapat diketahui. Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan iddah (waktu tunggu), yakni pada masa itu, perempuan yang ditalak menunggu dalam waktu tertentu dan selama itu pula ia berhak memperoleh nafkah dari mantan suaminya dan ditempatkan di rumah yang layak dan tenang serta nyaman. Selama masa itu, ia tetap dalam pengawasan mantan suami sehingga jika ternyata hamil maka janin yang ada di dalam kandungannya adalah anaknya. Dan jika tidak ada tanda-tanda kehamilan, maka antara keduanya tidak ada lagi hubungan sebagaimana mulanya.
Firman Allah SWT : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Baqarah: 228). Selain ayat tersebut, ada lagi ayat yang menjelaskan tentang iddah, yakni QS. Al Baqarah : 234-235, dan QS. Ath Thalaq : 4.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat-ayat tentang Iddah
1. QS. Al-Baqarah ayat 228
                                             

Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Baqarah: 228).
2. QS. Al-Baqarah ayat 234-235
                           
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ." (Al-Baqarah: 234)

                          •            •         •    

Artinya : "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Baqarah: 235).


3. QS. At-Thalaq ayat 4
                              
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haidh di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan: dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq : 4)

B. Makna Mufrodat
الْمُطَلَّقَاتُ maksudnya adalah istri-istri yang di talak dan diperbolehkan kawin lagi setelah habis masa menunggu dan sudah pernah mengalami haidh. يَتَرَبَّصْنَ maksudnya adalah menunggu.
قُرُوءٍ bentuk tunggalnya adalah Qur-un dan Qar-un. Artinya terkadang menunjukkan makna haidh dan terkadang diartikan suci. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Qur-un adalah haidh, sedangkan madzhab imam Syafi’I dan Imam Maliki mengartikan suci. مَا فِي أَرْحَامِهِنَّ : mencakup haidh dan bayi.
دَرَجَةٌ maksudnya adalah sebagaimana dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”.
Yutawaffauna : Allah mencabut arwah mereka (mati). Wa Yadzaruna : meninggalkan. Az-Zauj : bisa di artikan lelaki atau wanita. Sebagaimana firman Allah dallam surat Al-Ahzab : 6 yang artinya : “Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”. Asal katanya adalah dua bilangan yang menyatu dalam batin, meskipun secara lahiriyah menunjukkan dua bilangan. Lelaki dan perempuan disebut zauj, untuk menunjukkan bahwa menurut kebutuhan fitrah, hendaknya lelaki dan perempuan itu menyatu. Lelaki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Kedua pihak saling membutuhkan satu sama lain sehingga seolah-olah keduanya telah menyatu.
يَتَرَبَّصْنَ : menunggu. Balaghna Ajalahunna : telah sempurna ‘iddah mereka dan telah habis masa menunggu mereka. At-ta’ridl fil ahkam : memahamkan lawan bicara dengan pembicaraan secara tidak terus terang (sindiran). Al-Iknan fin Nafsi : menyimpanniat dalam hati hendak mengawini wanita yang bertalak (janda) setelah selesai ‘iddahnya. Qaulun Ma’ruufun : nasehat yang baik berkenaan dengan masalah pergaulan suami istri, kelapangan dada antara keduanya dan lain sebagainya.
‘Azmu ‘sy-syai – ‘Azamahu ‘alaihi I’tazamahu : bermakna sama yaitu anda bertekad bulat untuk melaksanakannya. Al-Kitab : bermakna Al-Maktub, yaitu yang di wajibkan. Ajaluhu : habis masanya.

C. Pengertian Ijmali
Dalam QS. Al Baqarah : 228, setelah menjelaskan perihal orang yang melakukan ila’ pada ayat-ayat yang telah lalu, dimana ia diperbolehkan menggauli istrinya kembali atau bertekad dan berniat mentalaknya dengan menjauhinya dan tidak menggaulinya, pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang masalah hukum-hukum sebagai kelanjutan pembahasan ayat-ayat yang telah lalu.
Sedangkan dalam ayat 234-235 dijelaskan bahwa pada ayat-ayat yang lalu, telah dibicarakan masalah hukum-hukum talak ditinjau dari segi bilangannya – kapan seorang suami boleh kembali kepada istrinya – dan diperbolehkannya seorang suami melepaskan istrinya dengan cara yang baik. Kemudian pembahasan beralih kepada masalah menyusui bayi – hak-hak seorang ibu terhadap anaknya – serta kewajiban seorang ayah dalam memberi nafkah berupa sandang pangan dan lain-lainnya. Pada ayat ini, Allah menjelaskan hukum-hukum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Yaitu dalam masalah berkabung – larangan berhias – masa ‘iddah yang harus dijalani – dan kapan ia boleh dipinang.
Dalam surat yang lain, yakni QS. Ath Thalaq : 4 diterangkan bahwa :
a. ‘Iddah Wanita yang Belum Haidh dan ‘Iddah Wanita Tua yang Sudah Berhenti Haidh
Setelah Allah menyebutkan bahwa thalaq sunnah itu terjadi dalam keadaan suci tanpa “dicampuri”, tetapi Allah tidak menjelaskn batas waktu ‘iddah karena telah dijelaskan dalam surat Al-Baqarah yang yang turun sebelum ayat ini, bahwa ‘iddah wanita yang berhaidh itu tiga quru’. Disini Allah menyebutkan bahwa ‘iddah anak perempuan yang belum berhaidh dan ‘iddah perempuan tua yang sudah berhenti, bahwa ‘iddahnya adalah tiga bulan.

b. ‘Iddah Wanita Hamil Adalah Bila Ia Melahirkan Meski Sesaat Kemudian.
Sedangkan ‘iddah bagi perempuan hamil adalah bila ia telah melahirkan anaknya, baik karena di thalaq maupun ditinggal mati suaminya. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi di dalam jama’ah Akharin, dari Ubay ibnu Ka’b, bahwa beberapa orang dari penduduk Madinah ketika turun satu ayat mengenai ‘iddah para istri, mmengatakan, “Sungguh, diantara ‘iddah para isteri itu masih terdapat ‘iddah-‘iddah yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, yaitu: isteri yang masih anak-anak dan perempuan yang sudah tua yang sudah berhenti haidh serta perempuan-perempuan yang hamil”. Maka, turunlah firman Allah ta’ala di dalam surat An-Nisa’ yang amat pendek .
Telah diriwayatkan, bahwa suatu kaum, diantara Ubay bin Ka’b dan Khalad bin Nu’man, ketika mendengar firman Allah Ta’ala
    
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ‘iddah isteri yang tidak mempunyai quru’, baik yang ,masih anak-anak maupun yang sudah tua Bangka?, maka turunlah surat At Thalaq ayat 4 ini. Sebagi jawaban bagi mereka.

D. Asbabun Nuzul
Ibnu Taimiyyah mengemukakan, bahwa mengetahui asbabun nuzul suatu ayat alquran dapat membantu kita memahami pesan-pesan yang dikandung ayat tersebut. Lebih lanjut Syaikhul Islam itu menambahkan bahwa pengetahuan mengenai asbabun nuzul suatu ayat memberikan dasar yang kokoh dalam menyelami kandungan ayat tersebut.

1. QS. Al Baqarah : 228
                                             
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al Baqarah : 228)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Asma’ binti Yazid bin as-Sakan al-anshariyah berkata mengenai turunnya ayat tersebut, “Pada zaman Rasulullah saw, aku ditalak oleh suamiku di saat belum ada hukum iddah bagi wanita yang ditalak. Maka Allah menetapkan hukum iddah bagi wanita, yaitu menunggu setelah bersuci dari tiga kali haid. (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Asma’ binti Yazid bin as-Sakan).
Namun dalam riwayat lain dijelaskan, bahwa Isma’il bin Abdillah al-Ghiffari menceraikan istrinya, Qathilah, di zaman Rasulullah SAW. Ia sendiri tidak mengetahui bahwa istrinya hamil. Setelah ia mengetahuinya, ia pun rujuk pada istrinya. Istrinya melahirkan lalu meninggal, demikian juga bayinya. Maka turunlah ayat tersebut yang menegaskan betapa pentingnya masa iddah bagi wanita untuk mengetahui hamil atau tidaknya seorang istri. (Diriwayatkan oleh Ats Tsa’labi ddan Hibatullah bin Salamah dalam kitab an-Nasikh yang bersumber dari alkalbi dan muqotil).
2. QS. Al Baqarah : 234
                           
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah : 234)

Ibnu Jarir, Ibnu Mundir, Ibnu Hatim dan An Nuhas dalam kitabnya, An Nasikh, dan Al Baihaqi dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata : “Ada seorang laki-laki yang mati meninggalkan istrinya, yang menurut adat kebiasaan di daerahnya, dia harus di dalam rumah selama setahun, sedang makannya dari harta suaminya, lalu Allah menurunkan ayat tersebut.

3. QS. Al Baqarah : 235
                          •            •         •    
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS, Al Baqarah : 235)

4. QS. Ath Thalaq : 4
                              
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Thalaq : 4)
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika turun ayat tentang iddah dalam surat Al Baqarah : 226-237, para sahabat berkata, “Masih ada wanita yang belum disebut (dalam Alquran), yaitu iddahnya wanita muda (yang belun haid), yang sudah tua (tidak haid lagi), dan yang hamil. Maka turunlah ayat ini (Ath Thalaq : 4) yang menegaskan bahwa masa iddah bagi wanita muda yang belum haid dan wanita yang sudah berhenti haid ialah tiga bulan, sedangkan iddah bagi wanita yang hamil ialah hingga melahirkan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ishaq bin Rahawaih, al-Hakim, dan lain-lain yang bersumber dari Ubay bin Ka’ab).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Khallad bin Amr bin Al-Jamuh bertanya pada Nabi tentang iddah wanita yang tidak haid lagi. Maka turunlah ayat ini. (Ath Thalaq : 4) sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. (Diriwayatkan oleh muqotil di dalam Tafsir-nya).
E. Munasabat Ayat
QS. Al Baqarah ayat 228 berkaitan dengan tiga ayat sebelumnya (225-227) dan satu ayat setelahnya (229). Tiga ayat tersebut menerangkan tentang thalaq sebagai hak seorang suami, dan iddah sebagai hak istri. Lalu dilanjutkan dengan menerangkan masalah iddah seorang istri dalam ayat 228, yakni istri yang di thalaq masa iddahnya 3 kali quru’, bisa dimaknai 3 kali haid, atau 3 kali suci dari haid. Lalu ayat selanjutnya kembali menerangkan tentang thalaq yang masih bisa dirujuk.
QS. Al Baqarah ayat 234 menerangkan masalah iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya. Selain itu juga menerangkan tentang kebolehan dipinang setelah usai masa iddahnya. Kemudian pembahasan tentang meminang perempuan yang telah sampai masa iddahnya dijelaskan dalam ayat selanjutnya, yakni ayat 235. Namun, ada ayat yang sangat berkaitan dengan ayat 234, yakni QS. Al Baqarah ayat 240 yang menerangkan bahwa iddahnya perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah setahun. Menurut beberapa pendapat, ayat 234 menasakh hukum ayat 240 tapi tulisannya tetap.
QS. Ath Thalaq ayat 4 berhubungan dengan QS Al Baqarah : 228 yang menerangkan tentang waktu iddah yang terikat dengan haid. Sedangkan ayat ini menambahkan penjelasan tentang iddahnya perempuan yang tidak disebut dalam surat al baqarah, yakni iddahnya perempuan yang sudah tidak haid karena sudah tua atau masih kecil, serta iddahnya perempuan yang tengah hamil.
F. Tafsir Bil Ma’tsur
1. Surat Al Baqarah : 228
Abu Dawud, Ibnu Abi Hatim, dan Al Baihaqiy meriwayatkan dari Asma’ binti yazid bin Sakan seorang wanita Anshor, berkata bahwa pada masa Rasulallah dia telah diceraikan suaminya, sedangkan belum ada ketentuan yang mengatur masalah Iddah untuknya. lalu Allah menurunkan ketentuan Iddah untuknya melalui firmannya وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ. Oleh karenanya Asma’ menjadi wanita pertama yang menjalankan syari’at Iddah bagi wanita yang diceraikan suaminya .
Mengenai kata قُرُوءٍ banyak yang mempeselisihkan antara قُرُوءٍ yang diartikan suci dan yang diartikan haidh. Imam Malik, Syafi’i, Abdur Rozzaq, Abdur Rahman bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Abu Hatim, An Nahas, Dar Qutniy dan Al Baihaki dari A’isyah berkata yang dimaksud dengan قُرُوءٍ adalah masa suci. Arti yang sama juga diutarakan oleh Ibnu Umar dan Zaid bin Tsabit, yang diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq, Ibnu Jarir, dan Al Baihaki, kalau قُرُوءٍ adalah masa suci .
Sedangkan Abdur Rozzaq, Ibnu Jarir, Al Baihaki ditambah Ibnu Munzir, meriwayatkan bahwa Umar bin Dinar mengartikan قُرُوءٍ dengan masa haidh. Begitu juga Inbu Jarir dan Al Baihaki dari riwayat Ibnu Abbas dan Abd bin Humaid dari riwayat Mujahid menyatakan hal yang sama dengan Ibnu Abbas .
Kemudian Abd bin humaid dari riwayat Qatadah menyatakan Iddah bagi wanita yang diceraikan suaminya adalah tiga kali haidh. Akan tetappi ketentuan tersebut di naskh dengan ketentuan bahwa bagi wanita yang telah diceraikan suaminya akan tetapi belum disetubui, maka tidak ada Iddah baginya, pada surat Al Ahzab ayat 49. Begitu juga dinash dengan ketentuan bagi wanita tua yang tidak mengalami haidh lagi masa Iddahnya selama tiga bulan dan wanita hamil yang mempunyai masa Iddah sampai ia melahirkan pada surat At Talaq ayat empat .
2. Surat Al Baqarah ayat 234-235
Ibnu Abbas mengatakan pada surat Al Baqarah ayat 234 Iddahnya bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari kecuali apabila dia hamil, maka Iddahnya sampai melahirkan. Pada ayat فإذا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم Ibnu Abbas juga menjelaskan apabila wanita diceraikan atau ditinggal mati suaminya dan masa Iddahnya telah habis, maka tidak dianggap berdosa apabila dia menghias dirinya, mencari biaya hidup serta mempersiapkan dirinya untuk menikah lagi. Karena itulah yang dimaksudkan dengan Al Ma’ruf (kebaikan) .
Abdur Rozzaq, abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim dari Ibnu Abbas memberikan ketentuan bagi wanita yang masih dalam masa Iddah karena ditinggal mati suaminya dimakruhkan memakai wewangian dan berhias diri, akan tetapi dalam ayat 234 ini tidak disebutkan bukan berarti dia tidak boleh keluar dari rumah .
Abdul Hamid Hakim mengatakan bahwa ayat وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ini telah menaskh hukum dari ayat وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ dimana rasm-nya (tulisannya) masih ditetapkan dalam Al Qur’an, yang kemudian disebut naskhul hukmi wabaqo’ul rosmi .
Namun ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa ayat 234 surat Al Baqarah ini tidaklah menaskh ayat 240 surat Al Baqarah, ayat yang pertama merupakan pengurangan yang asalnya Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun penuh menjadi empat bulan sepuluh hari. Sama halnya shalat qashar yang berkurang dari empat raka’at menjadi dua raka’at. Akan tetapi pernyataan ini dibantah oleh Imam Al Qurtubi yang mengatakan bahwa pernyataan seperti itu adalah jelas salahnya karena ayat yang mempunyai kandungan hukum seperti wajib beriddah selama satu tahun penuh, namun kemudian dihilangkan diganti dengan empat bulan sepuluh hari, ini adalah naskh dan tidak bias dianalogkan dengan pengurangan raka’at dalam shalat qoshor .
Tafsir dari ayat ولا جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء ayat 235 ini, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Munzir dan Ibnu Abi hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksudkan adalah pengungkapan rasa cinta dan kasih sayang kepada wanita yang masih dalam masa Iddah untuk dinikahi tanpa memaksakan cintanya harus diterima. Begitu pula Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibrahim bahwa pemberian hadiah kepada wanita yang masih dalam masa Iddah untuk dinikahi ini diperbolehkan dalam Islam .
Ayat أو أكننتم في أنفسكم, Ibnu Jarir mengatakan berdasarkan riwaayat dari As Saddiy seorang laki-laki masuk ke rumah wanita yang masih mempunyai Iddah dengan salam lalu memberikan sesuatu tanpa adanya perbincangan diantara keduanya. علم الله أنكم ستذكرونهن, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah dari Mujahid mengatakan maksud ayat tersebut adalah laki-laki yang selalu terbayang akan sosok wanita idamannya yang masih beriddah. وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا, Ibnu Abbas menafsirkan tentang laki-laki yang tidak mengungkapkan rasa kerinduan serta tidak memaksa berjanji wanita beriddah untuk menikah dengannya. Akan tetapi cuma menyatakan harapan semoga wanita tersebut hanya akan menikah dengannya .

3. Surat At Talaq Ayat 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Abd Bin Humaid meriwayatkan dari Qatadah bahwa wanita yang tidak mengalami haidh lagi, entah masih masih dalam usia haidh ataupun karena usia yang telah lanjut dan wanita yang belum memasuki usia haidh, masa Iddahnya adalah tiga bulan. Adapun riwayat Abd bin Humaid dari Ad dhohak memberikan batasan kalau wanita yang sudah tidak mengalami haidh lagi adalah wanita yang telah lanjut usia .
إن ارتبتم, dari ‘Amir As Sya’bi wanita yang masih dalam usia haidh namun diragukan apakah masih bisa mengalami haidh atau tidak? Maka menurut Mujahid yang diriwayatkan oleh Al Faryabi, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir, Iddahnya adalah tiga bulan .
وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن menyatakan Iddah bagi wanita hamil adalah sampai ia melahirkan .
G. Hikmah Tasyri’
Hikmah Iddah bagi Wanita yang di Tinggal Mati Suaminya
Lama Iddah wanita yang ditinggal mati jika ia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari. Ini merupakan ungkapan kasih sayang dan pemeliharaan Allah terhadapm kaum wanita, serta penolakan atas adat istiadat jahiliyah yang memaksakan wanita yang ditiggal mati suaminya untuk mengenakan pakaian hitam, berhias dan mamakai harum-haruman selama satu tahun.
Penetapan waktu selama itu semata-mata karena adanya hikmah yang besar. Diantaranya ialah karena janin berwujud sperma dalam perut ibunya dalam jangka waktu empat puluh hari. Berbentuk segumpal darah beku juga selama empat puluh hari. Berikutnya ia berbentuk segumpal daging juga dalam waktu empat puluh hari. Jadi jumlah semuanya adalah empat bulan.
Kemudian pada tahap ke empat barulah ditiupkan ruh kepadanya dalam waktu sepuluh hari, sehingga mulailah janin bergerak dalam perut ibunya. Keempat tahap ini memakan waktu empat bulan sepuluh hari.
Iddah ini diwajibkan untuk menunjukkan kesedihan atas hilangnya kenikmatan pernikahan. Karena pernikahan memang merupakan kenikmatan yang luar biasa yang berhak ia rasakan. Sedang suami adalah orang yang memelihara dan melindunginya dengan sandang, pangan dan papan. Karenanya ia wajib beriddah sebagai bentuk pernyataan kesedihan karena hilangnya nikmat tersebut dan sebagai bentuk dari kemuliaannya.

a. Hikmah Iddah Istri yang diceraikan dalam Keadaan Hamil
Allah telah menetapkan Iddah bagi wanita hamil adalah sampai ia melahirkan. Hikmahnya apabila dia menikah setelah diceraikan dalam keadaan hamil, maka suami yang kedua akan menyirami tanaman orang lain. Kejadian ini tidak dibolehkan dalam Islam.
Hikmah lain yang terdapat dalam ketetapan Allah tersebut adalah bahwa benih yang tertanam dalam rahim istri merupakan hak bagi suami yang menceraikannya. Karena itu si istri tidak boleh merendahkan nilai hak tadi dengan menikah lagi selama hak (benih) suami pertama masih di dalam perutnya. Lantaran inilah Allah mewajibkan suami pertama memberikan nafkah bagi mantan istrinya sampai ia melahirkan, karena dialah penghalang mantan istrinya untuk menikah lagi selama masa kehamilan.

b. Hikmah Iddah Bagi Gadis Kecil yang belum Haidh
Telah dijelaskan bahwa Iddah gadis kecil yang belum haidh adalah tiga bulan. Masa ini tidak untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim, lantaran rahim wanita yang belum haidh jelas bersihnya. Namun demikian adanya iddah ini untuk dua hikmah. Yang pertama sebagai penghormatan terhadap akad nikah. Kedua gadis yang belum nikah disamakan dengan wanita yang sudah haidh. Waktu tiga bulan sendiri diperkirakan sebagi waktu terjadinya tiga kali sucian bagi wanita yang sudah haidh, karena biasanya terjadi satu kali suci setiap bulannya.

c. Hikmah Iddah Wanita yang diceraikan raj’i
Iddah wanita yang ceraikan secara raj’i hikmahnya kembali kepada tiga hak: hak suami yang menceraikan, hak anak, dan hak istri yang diceraikan. Adapun hak bagi suami yang menceraikan adalah terjaganya hak suami untuk merujuk istrinya kembali kapan saja dia inginkan dengan atau tanpa kerelaan istrinya. Allah telah memberikan keleluasaan selama tiga kali sucian.
Adapun hak yang kembali pada anak adalah adanya kejelasan menngenai garis keturunan dan hak harta warisan. Adapun hak yang kembali kepada istri adalah untuk memastikan apakah ia hamil atau tidak.

d. Hikmah Tidak ada Iddah bagi Perempuan yang belum dicampuri
Sudah umum diketahui masyarakat bahwa sebelum adanya percampuran, rahim wanita msih tetap bersih. Karena itu kita tidak perlu menerapkan metode untuk mengetahui apakah rahim itu masih bersih atau tidak. Ini bisa dipastikan karena suami belum pernah mencampuri istrinya.
Dengan alasan di atas, Iddah tidak perlu lagi diberlakukan bagi istri yang diceraikan sebelum dicampuri, karena pada dasarnya pemberlakuan Iddah dimaksudkan untuk mengetahui kosong atau tidaknya rahim istri yang dicerai dari benih suaminya.

BAB III
PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami menyadari sebagai insan yang tak sempurna tentu banyak kekurangan dan kesalahan. Baik penulisan maupun penyampaian. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang constructive guna lebih baiknya makalah-makalah selanjutnya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad, Ali Al Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wal Falsafah, Beirut: Darul Fikr
- Ali, Muhammad As Shobuni. Rowa’iul Bayan, Jakarta : Darul Kutub Al Islamiyyah
- Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir / Muhammad Nasib Ar Rifa’i : penerjemah, Syihabuddin – Jakarta : Gema Insani Pers.
- Hakim, Abdul Hamid. Mabadi Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah As Sa’adiyyah
- Hasan, Abdul Halim. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Kencana
- Ibrohim al Biqo’i. Nadzmud Duror fi tanasubil ayat was suar. Maktabah syamilah
- Maktabah As Syamilah, Ad Durrul Mantsur
- Musthofa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi Jilid II. Semarang : CV. Thoha Putra.
- . Tafsir Al Maraghi Jilid 28. Semarang : CV. Thoha Putra.
- (Tanpa Nama). 2000. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alquran.Bandung : CV. Penerbit Diponegoro
Selengkapnya...